Sabtu, 17 Juni 2023

fikiran yang kesana-sini

Pengen deh belanja tas mahal, muas-muasin diri sendiri tapi harus ditahan-tahan. Rasanya iri lihat tas bagus punya temen kantor, ada uangnya tapi ga bisa beli karena banyak kebutuhan yang harus dicukupin. Pengen bilang ke suami, pengen minta tolong biar keuangan rumah tangga ini dibantu, tapi takut uang suami ga cukup. Tapi koq rasanya rumah tangga ini aku yang tanggung sendiri, beli kebutuhan rumah, kebutuhan haikal, kebutuhan diri sendiri,malah kadang suami yang ikut nebeng. Kadang mikir ini sehat ga sih? 
Pusing sendiri mikirin tabungan cuma cukup buat bertahan selama cuti melahirkan, nanyain tabungan pendidikan anak aja koq rasanya kayak ngemis dan ngajak perang, padahal bukan ga percaya cuma firasat aku uangnya kepake entah buat apa. Pengen marah tapi males ribut, cuma hati rasanya dongkol, padahal rumah tangga dibangun atas dasar komunikasi jujur satu sama lain, kalo gini jadi mikir yang ga bener. 
Ditanya mana uangnya malah ditanya balik "kamu ga percaya?" Trus aku mesti jawab apa kalo semuanya terasa mencurigakan. Pengenlah sebodo amat dengan masalah ini, cuma aku ga suka caranya kalo main rahasia-rahasiaan masalah uang tapi giliran ga punya uang malah minta ke aku. Ini udah masuk ga betanggung jawab ga sih? Aku ngerasa ga dinafkahin dan dibohongin, cuma takut banget kalo cuma kebawa perasaan dan fikiran yang berlebihan,cuma kalo gini terus sedih juga udah biaya hidup aku tanggung sendiri, ga dinafkahin, dibohongin pula.

Kamis, 08 Juni 2023

aku, suami, dan keluarganya

Mungkin sudah banyak orang yang membahas hal ini, hubungan setelah menikah bukan hanya tentang kita dan pasangan tapi menyangkut juga dengan keluarga. Hubungan yang menurut saya susah untuk sehat ketika sudah ada pihak ketiga yang ikut campur dalam rumah tangga. Mungkin bagi orang biasa saja tapi bagi saya perkara peletakkan alat makan saja bisa jadi masalah. Dulu waktu sebelum menikah saya ga pernah mikir sedetil itu, yang dipikir cuma persamaan visi rumah tangga yang mau dibangun, itupun saya ga perjelas karena terlalu terbawa euforia "alhamdulillah akhirnya saya nikah". Dan ketika akhirnya menikah hal-hal yang saya pikir bisa saya atasi dan maklumi menjadi hal yang saya permasalahkan, hubungan dengan mertua, hubungan dengan ipar, masalah keuangan, pola asuh anak, bahkan intonasi dan cara bicara. Ketika awal saya ambil garis batas bahwa ga masalah suami bantu keuangan ibunya karena beliau janda dan tidak punya penghasilan dengan catatan uangnya bersumber dari penghasilan suami, sayangnya hal itu ga saya pertegas, pada akhirnya saya merasakan kebanyakan uang suami lari ke keluarganya dengan berbagai cara, mulai dari bantu ibu, bantu ipar, berobat ponakan, bantu bayar hutang, dan lainnya yang cuma bisa saya duga karena suami ga pernah mau jujur masalah uangnya lari kemana saja dengan dalih pendapatannya lebih kecil dari saya. Hal ini kemudian menjadi kerikil dalam hubungan saya dengan suami, rasanya ga rela kalau ibu mertua intervensi urusan rumah tangga walau cuma perkara remeh, pun masalah pola asuh yang bertolak belakang dengan keluarga mertua. Kemudian masalah jadi semakin rumit karena ipar pinjem uang dan susah untuk ditagih, kredit motor ipar yang dialihkan ke kami, dan sebagainya yang rasanya ngebuat perasaan benci saya menumpuk ke keluarga suami. Ketika saya marah sayangnya saya ga bisa frontal bilang kalo saya lelah dianggap mampu membiayai rumah tangga ini sendiri, saya punya suami tapi untuk minta uang seratus ribu pun saya takut dia ga punya. 
Hubungan menikah jadi semakin rumit karena ketidakjelasan tujuan keuangan rumah tangga, apa yang jadi prioritas, untuk apa uang disimpan, siapa yang tanggung jawab. Awalnya saya ga keberatan kalau pada akhirnya sayalah yang lebih banyak membiayai rumah tangga kami, tapi akhirnya timbul ga ikhlas karena suami lebih sering membiayai keluarganya.